Dulu Sungai Kapuas tak sekeruh seperti sekarang, airnya berwarna
hitam bercampur dengan warna akar-akar tumbuhan yang menaungi pinggiran
bibirnya. Rona itu berubah setelah maraknya bisnis tambang emas,
menghasilkan limbah prestasi pencemaran lingkungan luar biasa hingga
merubahnya menjadi berwarna keruh keemasan.
Mendulang emas sudah merupakan tradisi keserakahan manusia yang tak pernah berakhir, dengan argumen mata pencaharian tanpa memperdulikan dampak lingkungan mereka menambang dengan serakah sampai akhirnya mengabaikan keselamatan nyawanya sendiri.
Sumber: http://mistik.reunion.web.id //DILARANG MENYALIN ISI LAMAN INI TANPA SEIZIN PENULIS!
Cerita ini bermula dari petualangan seorang sahabat yang hendak memulai bisnis menjanjikan ini. Di Kalimantan sebuah tambang emas ditemukan dengan sebuah ritual ghaib. Disana rombongan Halidi beserta anak buahnya menyusuri rimba tak bertuan dengan ditemani seorang Paranormal yang sudah terkenal sakti. Selain ancaman binatang buas, mereka juga harus berhadapan dengan suku lokal yang kanibal, orang setempat menyebutnya Dayak Jangkang. Namun bahaya ini tak sebanding dengan nilai harta karun yang mereka percaya ada di lokasi tersebut. Konon kabarnya orang Dayak pun tak berani memasuki lokasi tersebut, terkenal karena keangkerannya karena diselimuti kekuatan mistis yang dahsyat.
Sebelum ditambang, emas tersebut harus dipancing terlebih dahulu karena benda ini sebenarnya memiliki khodam. Emas akan mudah ditarik dari lokasi yang memiliki kekuatan magis yang besar, itu sebabnya mereka memilih lokasi yang tak jauh dari tepian sungai tersebut sebagai tempat ritual. Selain itu sang dukun juga menambahkan di sekitar lokasi itu terdapat benda pusaka yang memiliki kekuatan luar biasa, itulah sebabnya sang dukun berminat untuk disertakan dalam ekspedisi ini.
Di malam ke 3, hajat mereka akhirnya membuahkan hasil. Sang dukun akhirnya berhasil berkomunikasi dengan khodam emas yang dicari-cari. Halidi pun sempat melihat perwujudannya, sesosok bayangan legam menjulang dengan mata memancarkan sinar kemerahan di kegelapan malam.
Pembicaraan antara dukun dan makhluk itu pun berlangsung alot. Awalnya sang makhluk meminta tumbal berupa kepala bayi laki-laki sebagai syarat agar ia mau melepas harta jagaannya itu. Namun persyaratan itu ditolak mentah-mentah oleh sang dukun dengan alasan tidak sesuai dengan prinsipnya. Mendengar alasan sang dukun, makhluk itu pun marah karena ia merasa tidak dihormati dan menantangnya untuk bertarung, sebagai imbalannya ia bersedia memberikan apa yang diinginkan sang dukun. Pertarungan pun terjadi antara mereka, sang dukun pun melompat tinggi ke atas dahan pepohonan dan melancarkan sebuah serangan seperti pukulan yang memancarkan percikan cahaya kebiruan.
Halidi merasa tidak percaya apa yang dilihat oleh matanya, lututnya gemetar dan seketika tak dapat menggerakkan tubuhnya yang kurus. Sosok bayangan itu seperti mengerang dengan suara mengerikan, persis suara raungan seekor beruang. Ada bebunyian seperti ranting pohon yang dipatahkan secara paksa diantara pertarungan mereka.
Makhluk itu pun menggeram, seperti hendak melakukan sesuatu. Sang dukun yang siaga dengan segala jurusnya pun mulai melompat menghindari serangan balasan tersebut. Tiba-tiba! Jilatan api muncul dari arah pertarungan mereka, semburan mengerikan itu mengarah kepada tubuh sang dukun yang hendak melarikan diri. Ia sempat berteriak ke arah Halidi. “awaaas!.. Larii.. “ itulah seruan sang dukun kepada Halidi untuk segera menyingkir dari arena pertarungan. Tanpa berfikir panjang, Halidi yang sudah diselimuti rasa takut itu pun berlari kearah perkemahan rombongan yang tak jauh dari lokasi ritual.
Anak buah Halidi melihatnya tiba-tiba muncul dari balik rerimbunan dengan wajah bertanya-tanya.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?…
Halidi pun segera memerintahkan rombongan anak buahnya untuk segera bergegas meninggalkan lokasi tersebut. Sebelumnya sang dukun telah berpesan pada Halidi, jika terjadi apa-apa maka ia harus segera meninggalkan lokasi tanpa perlu mengkhawatirkan si dukun. Tidak ada jalan pulang menuju desa terdekat selain menyusuri anak sungai dengan perahu lanting (sejenis pondok seperti rumah) yang mereka sewa.
Kabarnya setelah sampai di desa mereka segera bergegas pulang ke kota dan sepakat untuk sementara tidak menceritakan kejadian ini, walaupun akhirnya ia menceritakannya. Keanehan terjadi, setelah pulang ia mendapati sang dukun telah kembali ke rumah dan sedang dirawat karena sakit parah.
Menurut pengakuan sang dukun, ia sendiri berhasil lolos dari pertarungan mautnya dengan khodam penjaga emas. Halidi pun sontak kaget, ketika melihat keadaan sang dukun yang terbaring ringkih, ia mengira sang dukun sudah tewas saat rombongan mereka meninggalkannya di hutan itu. Bagaimana mungkin ia bisa kembali ke rumahnya? Sedangkan jarak antara lokasi – desa – dan kota teramat jauh, dengan kendaraan saja bisa memakan waktu 8 jam! karena buruknya kondisi jalan. Belum lagi dengan kondisi sang dukun yang buta karena terluka akbat luka bakar yang dideritanya, rasanya tidak mungkin ia bisa kembali.
Kenyataannya sang dukun kembali, dan berangsur pulih dari lukanya. Sejak kejadian itu mereka tidak pernah kembali ke tempat itu, walaupun akhirnya mereka menemukan lokasi lain yang tidak kalah berbahayanya. Konon kabarnya, tempat-tempat penambangan emas tersebut banyak memakan korban.
Cerita ini saya peroleh dari seorang teman yang menceritakan pengalamannya pribadinya, tokoh dalam kisah ini sampai sekarang masih hidup sebagai seorang pebisnis emas yang akhirnya bangkrut saat era reformasi dimulai tahun 1998. Semoga cerita diatas dapat diambil hikmahnya, Salam.
Mendulang emas sudah merupakan tradisi keserakahan manusia yang tak pernah berakhir, dengan argumen mata pencaharian tanpa memperdulikan dampak lingkungan mereka menambang dengan serakah sampai akhirnya mengabaikan keselamatan nyawanya sendiri.
Sumber: http://mistik.reunion.web.id //DILARANG MENYALIN ISI LAMAN INI TANPA SEIZIN PENULIS!
Cerita ini bermula dari petualangan seorang sahabat yang hendak memulai bisnis menjanjikan ini. Di Kalimantan sebuah tambang emas ditemukan dengan sebuah ritual ghaib. Disana rombongan Halidi beserta anak buahnya menyusuri rimba tak bertuan dengan ditemani seorang Paranormal yang sudah terkenal sakti. Selain ancaman binatang buas, mereka juga harus berhadapan dengan suku lokal yang kanibal, orang setempat menyebutnya Dayak Jangkang. Namun bahaya ini tak sebanding dengan nilai harta karun yang mereka percaya ada di lokasi tersebut. Konon kabarnya orang Dayak pun tak berani memasuki lokasi tersebut, terkenal karena keangkerannya karena diselimuti kekuatan mistis yang dahsyat.
Sebelum ditambang, emas tersebut harus dipancing terlebih dahulu karena benda ini sebenarnya memiliki khodam. Emas akan mudah ditarik dari lokasi yang memiliki kekuatan magis yang besar, itu sebabnya mereka memilih lokasi yang tak jauh dari tepian sungai tersebut sebagai tempat ritual. Selain itu sang dukun juga menambahkan di sekitar lokasi itu terdapat benda pusaka yang memiliki kekuatan luar biasa, itulah sebabnya sang dukun berminat untuk disertakan dalam ekspedisi ini.
Di malam ke 3, hajat mereka akhirnya membuahkan hasil. Sang dukun akhirnya berhasil berkomunikasi dengan khodam emas yang dicari-cari. Halidi pun sempat melihat perwujudannya, sesosok bayangan legam menjulang dengan mata memancarkan sinar kemerahan di kegelapan malam.
Pembicaraan antara dukun dan makhluk itu pun berlangsung alot. Awalnya sang makhluk meminta tumbal berupa kepala bayi laki-laki sebagai syarat agar ia mau melepas harta jagaannya itu. Namun persyaratan itu ditolak mentah-mentah oleh sang dukun dengan alasan tidak sesuai dengan prinsipnya. Mendengar alasan sang dukun, makhluk itu pun marah karena ia merasa tidak dihormati dan menantangnya untuk bertarung, sebagai imbalannya ia bersedia memberikan apa yang diinginkan sang dukun. Pertarungan pun terjadi antara mereka, sang dukun pun melompat tinggi ke atas dahan pepohonan dan melancarkan sebuah serangan seperti pukulan yang memancarkan percikan cahaya kebiruan.
Halidi merasa tidak percaya apa yang dilihat oleh matanya, lututnya gemetar dan seketika tak dapat menggerakkan tubuhnya yang kurus. Sosok bayangan itu seperti mengerang dengan suara mengerikan, persis suara raungan seekor beruang. Ada bebunyian seperti ranting pohon yang dipatahkan secara paksa diantara pertarungan mereka.
Makhluk itu pun menggeram, seperti hendak melakukan sesuatu. Sang dukun yang siaga dengan segala jurusnya pun mulai melompat menghindari serangan balasan tersebut. Tiba-tiba! Jilatan api muncul dari arah pertarungan mereka, semburan mengerikan itu mengarah kepada tubuh sang dukun yang hendak melarikan diri. Ia sempat berteriak ke arah Halidi. “awaaas!.. Larii.. “ itulah seruan sang dukun kepada Halidi untuk segera menyingkir dari arena pertarungan. Tanpa berfikir panjang, Halidi yang sudah diselimuti rasa takut itu pun berlari kearah perkemahan rombongan yang tak jauh dari lokasi ritual.
Anak buah Halidi melihatnya tiba-tiba muncul dari balik rerimbunan dengan wajah bertanya-tanya.
Apa yang sebenarnya sedang terjadi?…
Halidi pun segera memerintahkan rombongan anak buahnya untuk segera bergegas meninggalkan lokasi tersebut. Sebelumnya sang dukun telah berpesan pada Halidi, jika terjadi apa-apa maka ia harus segera meninggalkan lokasi tanpa perlu mengkhawatirkan si dukun. Tidak ada jalan pulang menuju desa terdekat selain menyusuri anak sungai dengan perahu lanting (sejenis pondok seperti rumah) yang mereka sewa.
Kabarnya setelah sampai di desa mereka segera bergegas pulang ke kota dan sepakat untuk sementara tidak menceritakan kejadian ini, walaupun akhirnya ia menceritakannya. Keanehan terjadi, setelah pulang ia mendapati sang dukun telah kembali ke rumah dan sedang dirawat karena sakit parah.
Menurut pengakuan sang dukun, ia sendiri berhasil lolos dari pertarungan mautnya dengan khodam penjaga emas. Halidi pun sontak kaget, ketika melihat keadaan sang dukun yang terbaring ringkih, ia mengira sang dukun sudah tewas saat rombongan mereka meninggalkannya di hutan itu. Bagaimana mungkin ia bisa kembali ke rumahnya? Sedangkan jarak antara lokasi – desa – dan kota teramat jauh, dengan kendaraan saja bisa memakan waktu 8 jam! karena buruknya kondisi jalan. Belum lagi dengan kondisi sang dukun yang buta karena terluka akbat luka bakar yang dideritanya, rasanya tidak mungkin ia bisa kembali.
Kenyataannya sang dukun kembali, dan berangsur pulih dari lukanya. Sejak kejadian itu mereka tidak pernah kembali ke tempat itu, walaupun akhirnya mereka menemukan lokasi lain yang tidak kalah berbahayanya. Konon kabarnya, tempat-tempat penambangan emas tersebut banyak memakan korban.
Cerita ini saya peroleh dari seorang teman yang menceritakan pengalamannya pribadinya, tokoh dalam kisah ini sampai sekarang masih hidup sebagai seorang pebisnis emas yang akhirnya bangkrut saat era reformasi dimulai tahun 1998. Semoga cerita diatas dapat diambil hikmahnya, Salam.
0 komentar:
Posting Komentar